Selasa, 10 Desember 2013

Waspadai Penyakit Akibat Pemanasan Global


Waspadai Penyakit Akibat Pemanasan Global

Air laut pasang, musim mudah berubah dan tidak jelas, malaria dan demam berdarah kian mengganas, dan masih banyak lagi peristiwa memprihatinkan akibat pemanasan global, Apa yang mesti kita lakukan?

November lalu, sengatan mentari memanas, menyengat tak terkira. Udara kering selama beberapa hari mempercepat rasa haus di kerongkongan. Padahal, beberapa minggu sebelumnya, di akhir bulan Oktober, hujan mengguyur bumi tiada henti selama kurang lebih dua minggu. Saat itulah, para petani di Jawa merasa punya harapan. Mulailah bibit padi ditanam.

Tak disangka iklim berganti wajah begitu cepat. Hujan bukannya dituntaskan hingga Februari tahun depan, malah berhenti di tengah November. Sebaliknya, panas, kering, dan terik mentari memancar ke bumi dengan garangnya, hingga sengatan di kulit terasa bagai jilatan api.

Padi yang sudah ditanam, mati di usia muda. Musnahlah harapan para petani untuk memanennya di tahun depan. Selang beberapa minggu, hujan kembali menghunjam bumi tiada henti. Banjir pun datang melebar ke mana-mana.

Flu, batuk mulai dirasai banyak orang akibat lembabnya udara. Penyakit lain pun mulai bermunculan, dari diare, demam berdarah, hingga malaria. Di beberapa rumah sakit, pasien demam berdarah, anak-anak sampai orang dewasa terpaksa dirawat di selasar, saking melimpahnya jumlah pasien.

Pusing, repot, dan bingung dialami semua orang akibat perubahan ini. Ya, kita sedang mengalami perubahan iklim. Tak hanya di Indonesia, tetapi seluruh dunia.

Penelitian yang dilakukan WWF (World Wide Fund for Nature) menunjukkan, 33 persen habitat di muka bumi memiliki risiko tinggi bakal habis, bahkan beberapa tanaman dan spesies hewan telah punah. Beruang kutub misalnya, sangat terancam punah jika permukaan es Samudera Artik terus mencair secara drastis.
Inkubasi Nyamuk Pendek

Perubahan iklim di Indonesia meningkatkan frekuensi penyakit tropis, seperti malaria dan demam berdarah. Naiknya suhu udara menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin pendek. Nyamuk malaria dan demam berdarah bergembira ria menelurkan anak-anaknya. Dan si pengisap darah kecil ini bakal berkembang biak lebih cepat.

Siapa lagi yang paling rentan dengan cepatnya iklim berubah kalau bukan anak-anak dan balita. Buktinya, angka kematian yang disebabkan oleh malaria cukup tinggi, sebesar 1-3 juta pertahun, dan 80 persennya balita serta anak-anak (WHO, 1997). Kaum lanjut usia pun tidak luput dari ancaman akibat perubahan iklim ini.

Dari pemantauan Yayasan Pelangi Indonesia, tercatat kasus malaria di Jawa dan Bali naik dari 18 kasus per 100 ribu pada tahun 1998, menjadi 48 kasus per 100 ribu penduduk di tahun 2000. Kenaikan ini hampir 3 kali lipat. Sementara di luar Jawa dan Bali, terjadi peningkatan kasus sebesar 60 persen dari tahun 1998-2000. Kasus terbanyak ada di NTT, yaitu 16.290 kasus per 100 ribu penduduk.

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, diperkirakan 15 juta penduduk Indonesia menderita malaria dan 30 ribu di antaranya meninggal dunia (WHO, 1996).

Jika kita tak berupaya menghambat terjadinya perubahan iklim, kasus malaria di Indonesia akan naik dari 2.705 kasus pada tahun 1989, menjadi 3.246 kasus pada 2070. Sementara kasus demam berdarah naik 4 kali lipat, dari 6 kasus menjadi 26 kasus per 100.000 penduduk, pada periode yang sama.

Hutan Terbakar dan Polusi

Jangan lupa, kasus kebakaran hutan yang rutin melanda Tanah Air dan mengirimkan asap ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura juga melahirkan problem besar. Kualitas udara memburuk dan menurunkan derajat kesehatan penduduk di sekitar lokasi kebakaran.

Tahun 1997, kebakaran ini mengakibatkan sekitar 12,5 juta populasi (di delapan provinsi) terpapar asap dan debu (PM 10). Gangguan lain seperti asma, bronkitis dan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) mengancam. Apalagi kebakaran hutan juga menghasilkan racun dioksin yang dapat menyebabkan kanker dan kemandulan pada wanita.

Menurunnya kualitas kesehatan penduduk mengakibatkan kerugian berupa hilangnya 2,5 juta hari kerja. Kebakaran hutan juga menyebabkan kematian sebanyak 527 kasus .

Intensitas hujan yang tinggi dengan periode singkat akan menyebabkan bencana banjir. Banjir akan mengontaminasi persediaan air bersih. Pada akhirnya perubahan iklim juga berdampak pada mewabahnya penyakit seperti diare dan leptospirosis yang biasanya muncul pasca banjir. Kemarau panjang juga berdampak pada timbulnya krisis air bersih, berdampak pada mewabahnya penyakit diare dan kulit.

Dan selesailah riwayat kita bila tidak berbenah sejak sekarang. Marilah kita melakukan langkah konkret, misalnya ikut program penanaman sejuta pohon.

0 komentar:

Posting Komentar