Sabtu, 30 November 2013

Faktor yang berpengaruh pada status gizi dan kesehatan

Faktor yang berpengaruh pada status gizi dan kesehatan
Analisis berikut menguraikan faktor yang erat kaitannya dengan perubahan status kesehatan dan gizi penduduk, yaitu mulai dari ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh, penyakit infeksi/non-infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan, dan kemiskinan. Kerangka konsep UNICEF seperti pada bagan 2 digunakan untuk mengkaji faktor penyebab masalah gizi maupun kesehatan. Data yang digunakan pada umumnya dari data Kor Susenas 1995, 2000, 2002 dan 2003 dengan aggregat tingkat kabupaten, dan juga data HKI.

1. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga
Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Untuk itu diperlukan survei konsumsi rumah tangga yang mencatat jumlah (kualitas dan kuantitas) yang dikonsumsi setiap hari oleh anggota keluarga. Indonesia belum pernah secara nasional melakukan survei konsumsi tingkat rumah tangga dan mencatat jumlah yang dimakan untuk setiap individu. Secara nasional Indonesia pernah melakukan survei konsumsi tahun 1995-1998 untuk mengetahui tingkat defisit tingkat rumah tangga terhadap energi dan protein. Dari kajian survei konsumsi ini, diketahui bahwa rata-rata rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi energi berturut-turut dari tahun 1995-1998 adalah: 1999; 1969; 2051; dan 1990 Kkal/kap/hari dan protein: 46; 49.5; 49.9; dan 49.1 gram/kap/hari. Rata-rata konsumsi energi dan protein ini bervariasi antar provinsi dan kabupaten. Dari survei konsumsi ini dikaji juga persen rumah tangga yang defisit energi mapun protein. Disimpulkan bahwa dari tahun 1995-1998, persentasi rumah tangga dengan defisit energi bekisar antara 45 – 52% ; dan rumah tangga defisit protein berkisar antara 25 – 35% (Latief, et.al, 2000).

Berdasarkan kor Susenas, informasi ketahanan pangan tingkat rumah tangga hanya dapat diketahui berdasarkan perkiraan pengeluaran pangan dalam seminggu terakhir. Dari kajian kor Susenas 1995, 2000, dan 2003 dilakukan perhitungan rasio pengeluaran untuk setiap item bahan makanan terhadap total pengeluaran pangan. Terlihat perubahan rasio pengeluaran pangan sumber energi dari 32,64% tahun 1995 menjadi 24,2% tahun 2003. Pengeluaran konsumsi makanan jadi meningkat dari 7,9% tahun 1995 menjadi 8,7% tahun 2003, demikian juga terjadi peningkatan pengeluaran untuk konsumsi lainnya, terutama ikan, daging, dan buah-buahan. Jika dikaji perbedaan antara Kota dan Desa, analisis Kor Susenas 2003 menunjukkan pengeluaran untuk konsumsi di Kota lebih baik dibanding Desa, dan rumah tangga di Kota lebih banyak mengeluarkan uang untuk makanan jadi dibanding rumah tangga di Desa. 

Walaupun terlihat ada perbaikan pola pengeluaran makanan tingkat rumah tangga pada tahun 2003, akan tetapi jika dilihat dari rasio pengeluaran makanan terhadap pengeluaran total, masih sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia masih belum cukup baik. Pengeluaran terbesar rumah tangga masih pada makanan. Pada Figure 16 berikut, mengklasikasikan kabupaten berdasarkan 4 tingkat % pengeluaran makanan terhadap pengeluaran total: 1) <55%; 2) 55-65%; 3) 65-75%; dan 4) >75%. Terlihat ada perbaikan dari tahun 2000 ke tahun 2003, akan tetapi kondisinya hampir sama dengan tahun 1995. Pada tahun 2003, terlihat sekali perbedaan antara Kota dan Desa.

Nilai rata-rata rasio pengeluaran item bahan pangan terhadap total pengeluran pangan tingkat rumah tangga





Perubahan persen Kabupaten/Kota berdasarkan % pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran tingkat rumah tangga (1995, 2000, 2003)





Untuk diketahui juga, selain ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, maka keamanan pangan yang dikonsumsi setiap individu juga sangat berperan untuk kesehatan dan gizi. Terutama pada rumah tangga di perkotaan dimana konsumsi makanan jadi yang semakin meningkat. Masalah keamanan pangan tidak dibahas pada analisis ini karena ketersdiaan data yang kurang.

2. Morbiditas
Informasi prevalensi menurut jenis penyakit, terutama yang berkaitan dengan masalah gizi, tidak diketahui secara lengkap. Pada Figure 17 dapat dilihat kecenderungan pola penyakit yang menyebabkan kematian tahun 1995 dan 2001. Terlihat penyakit infeksi masih dominan, diikuti dengan penyakit sirkulasi dan pernafasan. Penyebab kematian yang ditunjukkan dengan penyakit sirkulasi memperlihatkan meningkatnya penyakit degeneratif baik pada laki-laki maupun perempuan. Bahkan pada perempuan, kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan sirkulasi ini meningkat cukup tinggi, dari 123 ke 191 per 100.000 penduduk. Terlihat juga kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan neoplasma cenderung meningkat dari tahun 1995-2001.

Kecenderungan penyebab kematian di Indonesia menurut jenis kelamin, SKRT 1995 dan 2001


Sumber: Laporan Studi Mortalitas, Litbangkes 2002

SKRT 1980, 1986, 1992, 1995 dan 2001 juga mencatat proporsi kematian karena ‘Non-communicable diseases/NCD’ meningkat dari 25.41% (1980) menjadi 48.53% (2001). Proporsi kematian karena ‘Cardiovscular diseases/CVD’ meningkat dari 9.1% tahun 1986 menjadi 26.3% tahun 2001; ‘Ischaemic heart disease’ dari 2.5% (1986) menjadi 14.9% (2001); dan stroke dari 5.5% (1986) menjadi 11.5% (2001). Kematian karena kanker dari 3.4% (1986) menjadi 6% (2001).

Dari penyakit infeksi, ada beberapa penyakit yang prevalensinya meningkat, seperti malaria, demam berdarah, TBC, dan HIV/AIDS. Angka insidens malaria menurun dari 21 per 100,000 penduduk tahun 1989 menjadi 9 per 100.000 penduduk tahun 1996 di Jawa-Bali. Akan tetapi angka ini meningkat kembali menjadi 20 per 100.000 penduduk tahun 1998. Prevalensi malaria di luar Jawa-Bali meningkat 3,97% tahun 1995 meningkat menjadi 4,78% tahun 1997. Angka insidens demam berdarah tahun 1996 tercatat 23,22 per 100.000 penduduk meningkat menjadi 35,19 per 100,000 penduduk tahun 1998. Walaupun prevalensi TBC dinyatakan menurun dari 290 per 100.000 penduduk pada periode 1979-1982 menjadi 240 per 100.000 penduduk pada akhir tahun 1998, akan tetapi distribusinya untuk setiap provinsi tidak merata. Pada beberapa kabupaten seperti Jawa Barat, Aceh dan Bali, masih ditemukan prevalensi TBC berada antara 650-960 per 100.000 penduduk. Untuk HIV/AIDS, pada akhir tahun 1999, 23 provinsi telah melaporkan adanya kasus HIV, dimana 14 diantara mereka penderita AIDS. Prevalensi secara nasional untuk AIDS di Indonesia adalah 0,11 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi ini bervariasi untuk setiap provinsi. Di Jakarta penderita AIDS 10 kali lebih banyak dari angka nasional, sementara Irian Jaya prevalensi AIDS 40 kali lebih tinggi dari angka nasional, atau 4,4 per 100.000 penduduk.

3. Kebiasaan makan dan perilaku hidup sehat
Kebiasaan makan dinilai berdasarkan perilaku anggota rumah tangga mengkonsumsi makanan sehari-hari. Dalam kor Susenas 2003, informasi ini dapat diketahui dengan membedakan anggota rumah tangga usia 10 tahun keatas untuk laki-laki dan perempuan dan juga berdasarkan tempat tinggal – Kota atau Desa. Penilaian dilakukan dari berapa kali konsumsi sayur, buah, makanan sumber hewani, dan nabati dalam seminggu terakhir. Seperti pada Figure 18 berikut tidak terlihat perbedaan yang menyolok antara laki-laki dan perempuan, keduanya rata-rata mengkonsumsi 3-9 kali keempat jenis makanan dalam seminggu terakhir. Laki-laki maupun perempuan mengkonsumsi sayuran pada umumnya lebih sering dibanding konsumsi buah. Jika membedakan antara Kota dan Desa, konsumsi sayuran lebih sering dikonsumsi di Desa dibanding Kota, sedangkan jenis makanan lain hampir sama antara Kota dan Desa.

Perilaku mengkonsumsi makanan menurut jenis kelamin dan penduduk Kota-Desa, 2003.









Perilaku kesehatan yang merupakan salah satu penyebab atau risiko utama dari beberapa penyakit kronis seperti penyakit jantung, stroke, kanker paru, kanker saluran pernapasan bagian atas adalah Persentase penduduk umur 10 tahun ke atas yang di Indonesia tidak banyak berubah pada periode 1995-2001 atau hanya meningkat 1,5% dari 26,2% (tahun 1995) menjadi 27,7% (tahun 2001). Jika diperhatikan prevalens menurut jenis kelamin didapatkan perbedaan persentase yang mencolok antara penduduk laki laki dan perempuan. Persentasi perempuan masih cukup rendah, yaitu kurang dari 1%. Yang perlu diwaspadai adalah kebiasaaan pada laki-laki meningkat cukup tajam menjadi 40,7% pada tahun 2003. Pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi ini juga meningkat dari rata-rata 9,15% terhadap pengeluaran pangan total pada tahun 1995 menjadi 10,03% tahun 2000 dan 13,15% tahun 2003. Jika dibuat tiga klasifikasi pengeluaran ini menjadi <10%, 10-15%, dan >15% terhadap pengeluaran pangan total; maka pada tahun 2003 terdapat hampir 27% kabupaten di Indonesia, rumah tangganya mengeluarkan uang >=15% dari total pengeluaran pangan untuk konsumsi, serta hampir 61% kabupaten masuk pada klasifikasi 10-15% untuk konsumsi (lihat Figure 19).

Jumlah kabupaten berdasarkan rasio pengeluaran konsumsi terhadap pengeluaran pangan total

4. Pola Asuh
Analisis pola asuh yang dapat dikaji adalah pemberian ASI pada anak balita. Informasi ini dapat dikaji berdasarkan Susenas 1995 dan 2003. Secara nasional pemberian ASI terutama pada bayi di bawah 1 tahun menurun dari 46,5% tahun 1995 menjadi 31,1% pada tahun 2003 (Lihat figure 20). Provinsi terendah memberikan ASI adalah Aceh (23,7%) dan tertinggi NTB (42,6%).

Kecenderungan Pemberian ASI menurut provinsi, Susenas 1995 dan 2003

Jika dikaji berdasarkan lamanya pemberian ASI saja sampai 4 bulan dan 6 bulan, terlihat ada kecenderungan meningkat dari tahun 1995 yaitu 35% menjadi 41% pada tahun 2003. Pemberian ASI saja sampai usia 6 bulan relatif masih rendah dan tidak ada peningkatan dari tahun 1995 ke tahun 2003, yaitu sekitar 15-17%. 
Persentasi pemberian ASI saja sampai 4 bulan dan 6 bulan menurut Provinsi, Susenas 1995 dan 2003




5. Kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar
Masalah kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar merupakan determinan penting dalam bidang kesehatan. Berubahnya kondisi lingkungan akan berdampak kepada berubahnya kondisi kesehatan masyarakat. Kecenderungan masalah lingkungan yang menjadi issue penting saat ini antara lain: terjadinya perubahan iklim, mulai berkurangnya sumber daya alam, terjadinya pencemaran lingkungan baik terhadap air maupun udara. Kajian kesehatan lingkungan dilakukan dari data Susenas 1996, 1999, dan 2003 dengan menghitung proporsi rumah tangga yang mempunyai akses air bersih, rumah tangga dengan lantai tanah, dan rumah tangga tanpa sanitasi. Figure 22 menunjukkan tidak terjadi perubahan yang menyolok dari tahun 1996 ke tahun 2003 hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Pada umumnya rumah tangga di daerah Indonesia Timur mempunyai kondisi yang lebih buruk dibanding Sumatera dan Jawa. Hampir 40% rumahtangga di NTB, NTT, Maluku, Papua, dan Sulawesi berkondisi tanpa sanitasi yang memadai. Hanya di Sumatera ada peningkatan 13% rumah tangga dari tahun 1999 ke tahun 2003 yang mempunyai akses air bersih.

Proporsi rumahtangga dengan kriteria kesehatan lingkungan 1996, 1999, 2003

Sumber: Analisis Susenas 1996, 1999, dan 2003.

Analisis pelayanan kesehatan dasar yang dapt dilakukan dari Susenas 2003, adalah kelahiran pertama dan kedua yang dibantu oleh tenaga medis (dokter, bidan, tenaga kesehatan lainnya atau non-medis (dukun, kerabat, lainnya). Rata-rata anak pertama lahir dengan tenaga medis adalah: 62,05%; dan non-medis: 37,95%. Sedangkan kelahiran anak kedua, rata-rata ditolong tenaga medis: 68,95%; dan non-medis 31,05%. Dari angka rata-rata ini, jika kabupaten diklasifikasikan menjadi 4 untuk kelahiran tenaga medis, yaitu: <25%; 25-50%, 50-75%, dan >=75%; maka dapat dilihat bahwa ada peningkatan jumlah kabupaten untuk kelahiran anak kedua yang >75% dibantu tenaga medis. Demikian sebaliknya kelahiran kedua yang ditolong tenaga-non medis (klasifikasi kabupaten: <10%, 10-20%, 20-30%. >=40%). (Figure 23)

Jumlah kabupaten berdasarkan kelahiran pertama dan kedua dengan tenaga medis dan non-medis



Sedangkan pelayanan gizi yang dilakukan melalui Posyandu, terutama untuk pemantauan pertumbuhan dan penyuluhan gizi pada Susenas tidak ada informasinya. Pengamatan berdasarkan laporan program aktivitas Posyandu ini cukup baik untuk balita terutama sampai usia 2 tahun dengan integrasi imunisasi. Aktivitas selanjutnya sampai usia 5 tahun, cakupan program atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi, mulai dari terendah 10% sampai tertinggi 80%. Jika diamati pemantauan pertumbuhan yang dilakukan rutin setiap bulan, partisipasinya masih sangat rendah berkisar antara 1-5%.

6. Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Angka melek huruf merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Data dari Susenas menunjukkan bahwa tingkat buta huruf di Indonesia telah menurun dari 57,1% di tahun 1961, menjadi 12,75% pada tahun 1994. Selanjutnya, telah terjadi peningkatan angka melek huruf, khususnya pada wanita, yakni dari 78,7% pada tahun 1990 pada kelompok usia 10 tahun keatas. Pada tahun 1995, angka melek huruf ini menjadi 82,9%, dan pada tahun 2003 menjadi lebih baik yaitu 87,7%, dengan distribusi yang agak berbeda antara perkotaan (93,0%) dan perdesaan (83,8%). Sedangkan pada laki-laki angka melek huruf adalah 94,2%, dimana perkotaan lebih baik dari perdesaan: 97,2% dan 91,9%.

Sedangkan Angka Partisipasi Murni untuk tingkat nasional, terlihat ada peningkatan sedikit untuk anak SD, SLTP, dan SLTA dari tahun 1995 ke tahun 2002. Proporsi masuk sekolah tingkat SLTA terlihat masih cukup jauh untuk mencapai 50% terutama untuk perdesaan. 
 
Pada tahun 2003, jika analisis kepemilikan ijazah atau sekolah yang ditamatkan dilakukan hanya pada kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga, maka terlihat masih rendahnya tingkat pendidikan kepala/ibu rumah tangga. Hanya 40% dari laki-laki yang berpendidikan SLTP ke atas, 60% tidak sekolah dan tamat SD; pada perempuan presentasinya lebih tinggi, yaitu 70% tidak sekolah dan hanya tamat SD. 

Persentasi kepemilikan ijazah penduduk dewasa laki-laki dan perempuan, 2003

7. Kemiskinan
Pada tahun 1970-an, Indonesia dikategorikan dalam kelompok “Poor Country”, berpindah menjadi “low-income country” pada tahun 1980-an. Pada tahun 1995 masuk dalam ranking “middle-income countries” (>$650). Pada tahun 1997 pendapatan per kapita per tahun mencapai $1100. Krisis ekonomi menurunkan pendapatan per kapita menjadi $670 pada tahun 1999, dan mulai meningkat kembali pada tahun 2000 ($703). Krisis ekonomi telah menciptakan turunnya lapangan kerja dan banyaknya pengangguran.

Indikator penting untuk mengukur tingkat pencapaian pembangunan adalah penurunan angka kemiskinan. Sampai dengan tahun 1996, penduduk miskin di Indonesia terus mengalami penurunan baik jumlah maupun persentasenya. Pada tahun 1980 penduduk miskin berjumlah 42,3 juta (28,7%), turun menjadi 15,1% pada tahun 1990, dan menjadi 11,3% pada tahun 1996. Namun dengan terjadinya krisis moneter yang diikuti oleh krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 dan berlanjut hingga 1998, maka jumlah penduduk miskin meningkat kembali dalam beberapa tahun berikutnya, bahkan mencapai angka 18.2% pada tahun 2002.

Distribusi penduduk miskin ini bervariasi antar kabupaten, mulai dari yang terendah 2,6% sampai dengan yang tertinggi mencapai 61%. Jika kabupaten dibedakan berdasarkan persen kemiskinan, maka distribusinya adalah sebagai Figure 25 berikut:

Jumlah Kabupaten berdasarkan persen kemiskinan, 2002

0 komentar:

Posting Komentar